Conversation with Merlin [email protected] · Mon Dec 04 2023

buatkan 2 legal question sesuai dengan ketentuan hukum untuk kasus posisi ini : I Made Agus Suarjaya (selanjutnya disebut “IMAS”) adalah pegawai (sesuai dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu mulai tanggal 16 April 2015) di PT Sinar Niaga Sejahtera Cabang Depo Denpasar yang bergerak di bidang distributor makanan dan minuman ringan, yang beralamatkan di Jalan Raya Terminal Mengwi Br. Jumpayah, Desa Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung (selanjutnya disebut “PT SNS”) sejak tanggal 16 April 2015 yang bekerja sebagai salesman grosir dengan gaji sebesar Rp2.656.000,00 (dua juta enam ratus lima puluh enam rupiah). IMAS bertanggung jawab untuk mendistribusikan barang-barang yang disediakan oleh perusahaan dan menerima order dari toko konsumen lalu membawa catatan orderan ke PT SNS dan menginputnya ke dalam sistem komputer, sekaligus melakukan penagihan atas pembayaran faktur piutang toko (tempo kredit dari perusahaan adalah maksimal 14 (empat belas) hari). Terdapat 3 sistem pembayaran dalam PT SNS, yakni sistem tunai (konsumen membayar tunai pada saat barang dikirim dan uang diterima oleh sopir), sistem pembayaran check (check disetor ke kantor), dan sistem kredit (konsumen belum melakukan pembayaran). Dalam melaksanakan tugasnya untuk melakukan penagihan, IMAS mendatangi toko yang berhutang untuk mengambil uang yang dibayarkan lalu seharusnya IMAS menyetorkan uang tersebut kepada kasir PT SNS berikut dengan surat tagihnya. Akan tetapi, IMAS tidak menyetorkan uang hasil penjualan barang milik perusahaan dari toko-toko yang telah melakukan pembayaran, melainkan IMAS menggunakan uang pembayaran tersebut untuk kepentingan pribadinya tanpa seizin PT SNS. Hal ini dibuktikan dengan tidak diserahkannya faktur asli kepada PT SNS dan faktur tersebut dibawa oleh IMAS padahal pihak toko sudah membayarkan hutangnya dan sudah menerima faktur aslinya. IMAS melakukan tindakan ini dari tanggal 12 November 2018 sampai tanggal 17 November 2018. Akibat tindakan IMAS, PT SNS mengalami kerugian materiil kurang lebih sebesar Rp86.624.716,00 (delapan puluh enam juta enam ratus dua puluh empat ribu tujuh ratus delapan belas rupiah) dari total 10 (sepuluh) toko yang berhutang kepada PT SNS dan melakukan pembayaran hutangnya melalui IMAS. Dalam hal ini, IMAS mengakui bahwa uang tersebut dibutuhkan oleh IMAS dan IMAS menggunakan uang tersebut untuk bermain judi online. Dalam melakukan tindakannya, diketahui IMAS melakukan tindakan ini sebanyak 10 kali dengan toko yang berbeda sesuai dengan jatuh tempo masing-masing pembayaran dari masing-masing toko tersebut. Terdapat 11 (sebelas) faktur penjualan dari PT SNS sesuai dengan masing-masing nomor faktur dari 10 toko yang merupakan arsip dari perusahaan dimana masing-masing toko tersebut ditagih oleh IMAS sebagai salesnya.

Pertanyaan Hukum:

  1. Apakah tindakan I Made Agus SuarjayaIMAS), yang menggunakan uang penjualan barang milik perusahaan untuk kepentingan pribad tanpa seizin PT Sinar Niaga SejahteraPT SNS), merupakan pelanggaran terhadap hukum perusahaan Apakah tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penggelapan atau tindakan kriminal lainnya?

  2. Bagaimana tanggung jawab hum IMAS atas kerugian materiil sebesar Rp86.624716,00 yang ditimbulkan kepada PT SNS akibat tindakannya yang menggunakan u penjualan untuk bermain judi online? Apakah tindakan dapat dikategorikan sebagai tindakan perdata atau pidana, dan seperti apa proses hukum yang berlaku dalam hal ini?

berikan pertanyaan yang bisa mencari informasi lebih detail dari kasus etrsebut

  1. Apakah terdapat kebijakan perusahaan terkait pengelolaan uang penjualan oleh karyawan seperti IMAS, dan apakahindakan IMAS melanggar kebijakan perusahaan tersebut? Jika ada kebijakan, bagaimana prosedur penanganan kasus pelanggar kebijakan perusahaan tersebut?

  2. Bagaimana proses kontrol internal di PT Sinar Niaga Sejahtera (PT SNS) terkait dengan penyerahan u hasil penjualan, pengelolaan faktur penjualan, dan penagihan toko konsumen oleh karyawan seperti IMAS? Apakah ada kelemahan dalam proses tersebut yang memungkink terjadinya tindakan yang dilakukan oleh IMAS?

buatkan 2 legal question yang sesuai dengan kaidah hukum indonesia dan detail sesuai dengan kasus posisi ini : Kasus ini berawal dari Zaenal Tayeb (selanjutnya disebut “ZT”) mengajak Hedar Giacomo Boy Syam (selanjutnya disebut “HG”) untuk menjalin kerjasama pembangunan dari objek tanah milik ZT (ditandai dengan Sertifikat Hak Milik “SHM” yang dimiliki oleh ZT) yang berlokasi di Cemagi, Mengwi, Badung pada tahun 2012. Pada saat itu, ZT sedang mendirikan perusahaan bernama PT Mirah Bali Konstruksi (selanjutnya disebut “PT MBK”). Sebelum kerjasama berjalan, dalam proses negosiasi antara HG dan ZT, HG tidak pernah ditunjukkan SHM dari tanah-tanah tersebut. Setelah kerjasama berjalan yang ditandai dengan penggabungan dan pemecahan SHM yang dilanjutkan dengan pembuatan blok plan sampai dengan pembangunan beberapa unit rumah dan telah dijual kepada konsumen. Pada tahun 2017, ZT dan HG menyepakati bahwa kerjasama mereka akan dibuatkan dalam perjanjian di notaris. Pada saat itu, Yuri Pranatomo (selanjutnya disebut “YP”) yang berstatus karyawan di PT MBK membuatkan draft perjanjian yang diperintahkan oleh ZT, yang mana draft surat ini, luas per-SHM tidak dituliskan secara rinci melainkan YP hanya membuat draft tersebut secara luas keseluruhan yang jumlahnya seluas 13.700m2 sebagaimana disampaikan oleh ZT. Setelah draft tersebut selesai dibuat oleh YP, YP menunjukkannya kepada ZT dan setelah ZT menyetujuinya, YP baru menyerahkannya kepada kepada kantor Notaris BF. Harry Prastawa, S.H, beralamat di Jalan Raya Kerobokan No. 26, Br. Taman, Kelurahan Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung (selanjutnya disebut “Notaris Harry”). Dengan mengacu pada draft yang dibuat oleh YP, Notaris Harry membuatkan Akta Perjanjian Kerjasama Pembangunan dan Penjualan No. 33 tanggal 27 September 2017. Di dalam akta tersebut, disebutkan bahwa ZT memiliki objek tanah dengan 8 SHM dengan luas total 13.700m2, yang mana luas tanah tersebut pula yang disampaikan secara langsung oleh ZT kepada HG pada tanggal 25 September 2017. Selanjutnya, HG melaksanakan pembangunan dan penjualan di atas tanah tersebut dengan nama Ombak Luxury Residence dan HG diwajibkan membayar nilai atas seluruh objek tanah sebesar Rp.4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) per m2, total sebesar Rp.61.650.000.000,00 (enam puluh satu milyar enam ratus lima puluh juta rupiah) dengan termin pembayaran sebanyak 11 (sebelas) kali dengan menggunakan cek, Setelah HG membayar lunas kepada ZT, HG melakukan pengecekan ke Notaris Harry mengenai progres pemecahan sertifikat, dan ternyata baru diketahui bahwa luas 8 SHM tersebut luasnya kurang dari 13.700 m2 sehingga tidak sesuai yang disampaikan oleh ZT kepada HG yang mana luasan Ombak Luxury hanya seluas 8892 m2. Pada saat pertemuan antara HG, ZT, dan Notaris Harry, Notaris Harry saat itu menunjukkan akta yang dibuat oleh Notaris Harry dan HG sempat membaca isi akta tersebut dan kemudian Notaris Harry meyakinkan HG memang benar luas lahannya 13.700 m2 sehingga HG pun mempercayai luas tanah tersebut. Atas kekurangan tanah tersebut, HG mengalami kerugian materiil sebesar Rp.21.600.000.000,00 (dua puluh satu milyar enam ratus juta rupiah) dihitung dari kekurangan tanah dikalikan harga Rp. 4.500.000,00 (4.808x Rp.4.500.000,00).

Pertanyaan Hukum:

  1. Apakah perbuatan ZT dan YP yang tidak menyampaikan informasi secara jelas mengenai luas tanah secara rinci kepada HG dalam proses pembuatan perjanjian kerjasama pembangunan dan penjualan di Notaris Harry, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum, penyimpangan dalam proses perjanjian, atau tindakan penipuan? Bagaimana tanggung jawab hukum ZT dan YP dalam hal ini, serta prosedur hukum yang dapat ditempuh oleh HG untuk menyelesaikan kerugian yang dialami?

  2. Bagaimana kewenangan dan tanggung jawab Notaris Harry dalam proses pembuatan akta perjanjian kerjasama pembangunan dan penjualan antara ZT dan HG? Apakah Notaris Harry memiliki tanggung jawab hukum terkait ketidaksesuaian informasi yang tertera dalam akta tersebut dengan kondisi sebenarnya, dan apa langkah hukum yang bisa diambil oleh HG untuk menyelesaikan kerugian finansial yang dialami akibat informasi yang salah tersebut?

buatkan 2 legal question yang sesuai dengan kaidah hukum indonesia dan detail sesuai dengan kasus posisi ini : PT Buana Cipta Propertindo (selanjutnya disebut “PT BCP”) adalah perseroan terbatas berdasarkan Akta Pendirian Perseroan No.43 tertanggal 11 April 2023 yang dibuat oleh Sri Susilawati, seorang Pejabat Notaris di Kota Batam, dan telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No. C-19322 HT.01.01.TH.2003 tanggal 14 Agustus 2003 dan berdasarkan Akta RUPS Perubahan Perseroan No.67 tertanggal 26 September 2019 yang dibuat oleh Pejabat Notaris Kota Batam, Rudi Purba yang telah mendapat pengesahan berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. PT BCP adalah perusahaan yang bergerak di bidang Developer dan/atau pengembangan di Kota Batam dan PT BCP memasarkan produk-produk dalam bentuk Rumah Siap Huni dan Rumah Toko (selanjutnya disebut “Ruko”) yang dikembangkan oleh PT BCP yang terletak di Komplek Town House Buana Business Center Blok E Nomor 43, Dapur 12, Kota Batam. Pada tanggal 25 September 2017, PT BCP dan Oriza Satifa (selanjutnya disebut “OS”) menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (selanjutnya disebut “PPJB”) Tanah dan Bangunan Nomor : PPJB – 20174425010921 dengan spesifikasi bangunan yang telah dipesan oleh OS adalah Proyek Town House Buana Business Center, Cluster TH.BBC Blok E No.43, tipe 4x12/4 x 14 dengan luas bangunan 104 m2 (bruto), luas bangunan 56 m2 dan jenis bangunan adalah ruko dengan harga jual Rp915.000.000,00. Dalam pemesanannya, OS memilih transaksi pemesanan melalui fasilitas kredit di bank, sehingga pelunasan harga jual unit tersebut akan dilakukan melalui fasilitas kredit di bank. Dalam PPJB, tercatat bahwa OS harus melakukan pembayaran angsuran pelunasan uang muka sebesar Rp228.750.000,00 selama periode dari tanggal 25 Oktober 2017 sampai 25 September 2019 sebanyak 24x angsuran, dan pada tanggal 25 Oktober 2019, OS diwajibkan untuk melunasi sisa harga jual unit pemasaran. Dalam proses pembayaran angsuran uang muka, OS mengajukan permohonan peminjaman unit yang dipesan OS kepada PT BCP dengan alasan unit tersebut akan digunakan oleh OS untuk membuka usaha agar OS dapat menyelesaikan pembayaran harga jual unit sebelum tanggal jatuh tempo, sehingga PT BCP menyetujuinya dan pada tanggal 9 November 2017, OS dan PT BCP menandatangani Berita Acara Serah Terima Tanah dan Bangunan serta perjanjian terkait dengan peminjaman Tanah dan Bangunan tersebut. Tanah dan Bangunan yang diserahkan kepada OS dalam keadaan baik dan layak, serta telah dilengkapi fasilitas air dan listrik. Diketahui, OS sudah membayarkan uang muka sebanyak 23x angsuran, sehingga tersisa 1x angsuran uang muka yang harus dibayarkan oleh OS. Sesuai dengan PPJB, tanggal 25 Oktober 2019, OS seharusnya tekah melaksanakan pembayaran sisa pelunasan harga jual kepada PT BCP namun OS tidak melakukan kewajibannya tersebut. Maka, pada tanggal 18 November 2019, PT BCP mengirimkan Surat Penegasan I yang meminta agar OS segera melakukan pelunasan terhadap 1unit ruko yang telah dipesan. Karena tidak ditanggapi, PT BCP kembali mengirimkan Surat Penegasan II pada tanggal 4 Desember 2019 dan tidak juga ditanggapi, dan pada akhirnya PT BCP kembali mengirimkan Surat Penegasan III pada tanggal 9 Januari 2020. Akhirnya, pada Januari 2020, saudara OS menghubungi PT BCP untuk meminta dispensasi waktu untuk melakukan pelunasan ruko tersebut, dan PT BCP memberikan dispensasi pembayaran sampai tanggal 1 Mei 2020 melalui Surat No.166/BCP/PEM-BBC/II/2020 (selanjutnya disebut “Surat Dispensasi”). Salah satu klausul dari Surat Dispensasi tersebut adalah apabila OS tidak dapat melakukan pelunasan harga jual, maka OS dianggap mengundurkan diri dalam pemesanan unit ruko tersebut dan seluruh uang muka yang telah dibayarkan, tidak dapat dikembalikan. Namun, hingga gugatan ini didaftarkan, OS tidak kunjung melakukan pembayaran pelunasan ruko tersebut hingga pada tanggal 18 Mei 2020, PT BCP mengirimkan surat pemberitahuan pembatalan pemesanan unit kepada OS. Akibat tindakan OS, PT BCP mengalami kerugian secara materiil karena selama ini OS memanfaatkan ruko tersebut untuk membuka usaha yang mana hal tersebut memberikan keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa membayar biaya apapun kepada PT BCP, namun di sisi lain OS tidak melaksanakan kewajibannya kepada PT BCP.

Pertanyaan Hukum:

  1. Apakah pelaksanaan peminaman unit yang dipesan OS kepada PT BCP untuk dijadikan tempataha, tanpa adanya perubahan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang melandasi perubahan tersebut, dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terap PPJB antara PT BCP dan OS? Bagaimana tanggung jawab hukum OS atas penggunaan unit ruko tan melakukan pelunasan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan PPJB, dan prosed hukum mana yang dapat diambil oleh PT BCP untuk menyelesaikan kerugian yang dial akibat tindakan OS?

  2. Apakah klausul dalam Sur Dispensasi yang menyatakan bahwa jika OS tidak dapat melakukan pelunasan harga jual, maka OS dianggap mengundur diri dari pemesanan unit ruko dan uang muka tidak dapat dikembalikan, sah menurut hukum? Bagaimana kewenangan PT BCP untuklakukan klausul tersebut, apakah hal ini sesuai dengan peraturanukum yang berlaku? Selain itu, bagaimana prosedur hukum yang dapat diambil oleh PTCP untuk menyelesaikan kerugian materiil yang dialami akibatindakan OS yang menimbulkan kerugian finansial melalui penggunaan ruko tanpa melakukan pelunasan yang telah dijanikan?

buatkan 2 legal question yang sesuai dengan kaidah hukum indonesia dan detail sesuai dengan kasus posisi ini : Kasus ini berawal dari anggota Polsek Katingan Hilir yang mendapatkan informasi dari masyarakat setempat bahwa di Losmen Citra Katingan, Jalan Bukit Raya, RT 014, RW 003, Kelurahan Kasongan Lama, Kecamatan Katingan Hilir, Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah (selanjutnya disebut “Losmen Katingan”) terdapat orang yang melakukan praktik kedokteran tanpa izin praktik yang sah dari pihak yang berwenang. Selanjutnya, anggota polsek Katingan Hilir yang dipimpin oleh Anak Agung Gede Artawan (selanjutnya disebut “AAGA”) mendatangi Losmen Katingan dan mendapati Purwanti Binti Karnadi Sidhil (selanjutnya disebut “P”) selesai mengoleskan obat albothyl di bagian gusi Kadariansyah (selanjutnya disebut “K”) dan ketika itu, P membawa peralatan praktik dokter gigi dan obat-obatan yang disimpan dalam 1 (satu) buah tas. AAGA menanyakan kepada P “apakah ibu seorang dokter?” dan P menjawab “iya, saya adalah seorang dokter gigi dari Jakarta”. AAGA pun menanyakan perihal izin praktik namun P tidak dapat menunjukkan izin praktik yang sah dari pihak yang berwenang dengan alasan masih dalam kepengurusan kepindahan izinnya dari Jakarta. Karena hal itu, AAGA mengamankan P beserta barang bukti ke Polsek Katingan Hilir untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Sebelum penangkapan tersebut dilakukan, P telah melakukan praktik dokter gigi kepada Normalia (selanjutnya disebut “N”) berupa pemeriksaan gigi, melakukan pencetakan gigi, dan melakukan Penyuntikan di bagian gusi sebanyak 2 (dua) kali dan dengan obat cairan yang berguna untuk menghilangkan rasa sakit, melakukan pencabutan gigi, serta penambalan gigi, selain itu P juga menawarkan kepada N untuk pemasangan behel / kawat gigi dengan tarif atau biaya sejumlah Rp. 9.000.000,00 dan telah dilakukan pembayaran oleh N dengan jumlah total Rp. 6.000.000,00, dan kepada K, P melakukan praktik kedokteran gigi berupa pemasangan dan pembuatan gigi palsu sebanyak 5 (lima) gigi palsu dengan tarif atau biaya sejumlah Rp, 5.500.000,00 dan sudah di bayar oleh K sejumlah Rp 3.000.000,00, sisanya akan di bayarkan ketika akan di lakukan pemasangan gigi palsu. P juga telah melakukan penyuntikan terhadap gusi K dan memberikan obat cairan untuk menghilangkan rasa sakit pada saat nantinya dilakukan pencabutan dan kemudian P mengoleskan obat albothyl di bagian gusi K karena terdapat tanda putih seperti sariawan. Diketahui bahwa P hanya memahami pemasangan peralatan tersebut berdasarkan pengalaman P yang pernah kerja di Klinik di Jakarta dan dari buku, untuk pemasangan secara ilmu kedokteran P tidak mengetahuinya. P pun bukan seorang dokter gigi atau memiliki latar belakang dokter / dokter gigi dan tidak ada memiliki izin pelayanan kesehatan di wilayah Kasongan Kab. Katingan dan tidak ada memilik Rekomendasi dari IDGI (Ikatan Dokter Gigi Indonesia) Kab. Katingan maupun dari Dinas Kesehatan Kab. Katingan. Selama melakukan aksinya, P melakukannya sendiri tanpa didampingi oleh tenaga ahli/dokter dan setiap alat kesehatan tidak menggunakan resep dari tenaga ahli/dokter. Tujuan P membuka praktik pelayanan kesehatan gigi hanya untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan keluarga karena P sebagai tulang punggung keluarga serta untuk memenuhi kebutuhan P sehari-hari dan juga untuk membiayai kebutuhan sekolah anak P.

Pertanyaan Hukum:

  1. Apakah takan Purwanti Binti Karnadi Sidhil (selanjut disebut P) dalam melakukan praktik kedokteran gigi tanpain praktik yang sah dan tanpa pendampingan tenaga ahli/dokter dapat dikategorikan sebagai pelanggar terhadap und-undang kesehatan atau profesi kedokteran di Indonesia? Selain itu, bagaimana tanggung jawab hukum P atas tindakan yang dilakukan terap Normalia (selanjutnya disebut N) dan Kadariansyahselanjutnya disebut K), termasuk terkait tarif atau biaya yang telah dibayar oleh kedu? Apakah tindakan yang diambil oleh pihak berwenang, dalam hal ini Polsek Katingan Hilir, sesuai dengan ketentuan hum yang berlaku untuk menindaklanjuti pelanggaran tersebut2. Apakah tindakan Purwanti Binti Karnadi Sidhil (P) dalam membuka praktikelayanan kesehatan gigi tanpa izin pelayanan khatan di wilayah Kabupaten Katingan yang tidak didampingi oleh tenaga ahli/dokter, serta tanpa menggunakan resep dari tenaga ahli/dokter dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum? Bagaimana implikasi hukum atas tindakan tersebut dalam konteks upaya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan membiayai kebutuhan sekolah anak?ain itu, apa langkah hukum yang dapat diambil oleh IDGI (Ikatan Dokter Gigi Indonesia) Kab Katingan dan Dinas Kesehatan Kab. Katingan terkait dengan kasus ini sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia?